Liputan6.com, Jakarta Ekonom di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai dampak pelarangan transaksi jual beli di social commerce, yakni TikTok Shop tidak akan terlalu signifikan untuk masyarakat.
“Karena penjual maupun konsumen masih memiliki banyak alternatif untuk melakukan transaksi jual beli,” kata Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti dalam diskusi yang disiarkan secara daring pada Selasa (3/10/2023).
Namun, Esther juga tidak mengesampingkan peluang yang ditawarkan dari hadirnya social commerce terhadap UMKM di dalam negeri.
Esther mengutip data dari Survey Populix yang menunjukkan bahwa 86 persen responden dari 1.000 orang menyatakan pernah melakukan transaksi di social commerce.
46 persen dari responden ini pun menggunakan TikTok Shop sebagai platform social commerce itu.
Meskipun demikian, UMKM masih bisa memanfaatkan peluang bisnisnya di platform e-commerce yang diproyeksikan akan melihat kenaikan pengguna hingga 208,55 juta pengguna di tahun 2024 mendatang, menurut data dari Statista Market Insight tahun 2023.
“UMKM harus melakukan penyesuaian strategi bisnis untuk memasarkan produknua secara daring melalui platform e-commerce,” jelas Esther dalam paparannya.
Esther juga menilai, Peraturan Menteri Perdangan Nomor 31 Tahun 2023 lebih baik dari Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2020.
Batasan Harga
Hal itu karena Permendag 31/2023 mengatur izin usaha bagi merchant dalam negeri, membatasi harga bagi produk impor yang masuk ke Indonesia, sehingga memberi ruanh promosi bagi produk Indonesia dalam social commerce.
“Batasan harga dan jenis produk impor harus jelas ditentukan range harganua agar tidak ada tsunami produk impor,” imbuh Esther.
Dia pun berharap ruang promosi untuk produk lokal dapat ditingkatkan, sehingga penting adanya regulasi yang mengatur minimal persentase produk lokal yang dipasang di social commerce.
“Regulasi sebaiknya mendorong promosi besar-besaran untuk produk lokal di social commerce untuk meningkatkan pangsapasar UMKM,” tambahnya.