Liputan6.com, New York – Amerika Serikat bersama dengan beberapa negara di Timur Tengah meningkatkan upaya untuk menargetkan portofolio investasi “rahasia” Hamas yang diyakini pejabat pemerintah bernilai hingga USD 1 miliar atau sekitar Rp 15,917 triliun (asumsi kurs Rp 15.917 per dolar Amerika Serikat).
Dikutip dari CNN, Kamis (26/10/2023), pejabat AS mengatakan pada Selasa, 24 Oktober 2023, Departemen Keuangan Amerika Serikat bekerja sama dengan anggota dewan kerja sama teluk yakni Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain dan Uni Emirat Arab menargetkan portofolio investasi Hamas.
Menyusul serangan teror Hamas terhadap Israel, pejabat AS dan Arab Saudi mengadakan pertemuan darurat pada Selasa, di Riyadh of The Terrorist Financing Targeting Center (TFTC) yang mencakup Amerika Serikat dan negara-negara GCC. Pertemuan itu sedianya dijadwalkan berlangsung pada November.
Pejabat AS itu mengatakan ada peningkatan upaya sejak serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober untuk menggunakan TFTC yang dibentuk pada 2017 untuk menyerang Hamas, Hizbullah dan kelompok militant lain yang bersekutu dengan Iran termasuk dengan menyampaikan informasi yang relevan, tepat waktu dan dapat ditindaklanjuti.
Pekan lalu, Departemen Keuangan menjatuhkan sanksi terhadap individu yang menurut pejabat mengelola aset dalam portofolio investasi “rahasia” Hamas yang kemungkinan bernilai USD 400 juta atau Rp 6,36 triliun dan USD 1 miliar atau sekitar Rp 15,91 triliun, menurut seorang pejabat AS. Pejabat itu menambahkan, portofolio tersebut menghasilkan sejumlah besar pendapatan bagi Hamas.
Departemen Keuangan mengatakan, portofolio investasi global mencakup perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan kedok bisnis yang sah di Sudan, Aljazair, Turki, Uni Emirat Arab dan negara-negara lain.
“Kita tidak bisa mentolerir dunia di mana penggalangan dana Hamas dan organisasi teroris lainnya hidup dan beroperasi dengan impunitas, menyalahgunakan sistem keuangan untuk mempertahankan teror mereka,” ujar Wakil Menteri Keuangan untuk Urusan Terorisme dan Intelijen Keuangan, Brian Nelson.