Sebagai bank yang berfokus pada pelayanan kepada UMKM, BRI telah memberikan pembiayaan sebesar Rp652,9 triliun kepada sektor UMKM, sementara pembiayaan ke sektor yang berkelanjutan mencapai Rp79,4 triliun.
“Bank itu adalah highly regulated industry, karena bank adalah bisnis yang berisiko sangat tinggi, sehingga kami di bank harus menerapkan best practice dalam risk management. Dalam konteks ekonomi hijau, Ada dua risiko utama yang harus di-manage, itu adalah physical risk dan transition risk. Challenge terbesar buat bank itu adalah bagaimana mengelola transition risk. Ini nilainya besar sekali dan itu nggak mungkin ditanggung sendiri oleh bank. Bahkan harus ada kolaborasi baik dari pemerintah, bank, industri, dan para pihak terkait,” jelas Solichin mengenai tantangan bank dalam menyalurkan pembiayaan hijau.
BRI telah berupaya menjalankan manajemen risiko yang dimaksimalkan dalam penyaluran kredit ke sektor hijau. Hal ini dilakukan dengan climate change scenario analysis berstandar internasional, serta menyusun credit policy per sektor untuk sektor palm oil dan pulp & paper.
Di samping tingginya risiko, Solichin juga memberikan penjelasan bahwa peran pemerintah dan pelaku industri memiliki peran penting dalam meningkatkan porsi green project Indonesia. Ini karena ketersediaan Indonesia yang masih sangat terbatas.
Pada tataran operasional, People dan Business Process menjadi hal yang diutamakan BRI dalam implementasi ESG.
“Operasional kita nggak akan pernah optimal ketika kita nggak meng-address isu mengenai manusianya,” kata Solichin.