Apa tantangan paling sulit dalam mengelola Freeport?
Tantangan banyak, tapi yang paling sulit itu tantangan alam, ini kalau di Freeport kenyataannya tantangan alam di tambang lah, di sumber daya alam. Mengelola sumber daya alam itu pasti tantangan alamnya besar karena bergantung juga kepada alam, dan mengambil juga hasil dari alam. Jadi tantangannya besar.
Kalau di daerah Papua ada tantangan soal security atau keamanan gitu ya. Tapi, itu adalah tantangan yang it’s given. Tapi terkadang kita dalam mengelola perusahaan itu juga banyak tantangan-tantangan lain yang munculnya tiba-tiba saja.
Saya selalu berusaha melihat satu tantangan itu dengan optimistik gitu loh, bahwa ini harus bisa selesai. Ada persoalan harus bisa selesai. Saya selalu melihat gelas itu setengah penuh. Kalau ada yang setengah airnya bukan setengah kosong. Kalau setengah kosong nanti dia akan habis. Kalau setengah penuh dia berarti nantinya akan penuh.
Kalau kita lihat setengah kosong ya berarti kita sudah mulai menginternalisasi ke diri kita bahwa ah ini bentar lagi dia habis. Tapi kalau kita melihatnya sebagai setengah penuh, kita akan terpancing gimana caranya supaya ini jadi penuh cepet gitu.
Jadi think positive lah, think positive. Dan juga jangan suka menggerutu atau berkeluh-kesah. Tanya saja sama yang lain-lainnya staf saya, saya suka berkeluh kesah apa nggak?
Kenapa itu, Pak?
Kalau kita berkeluh kesah atau menggerutu saya berpendapat bahwa yang pertama kali mendengar gerutuan kita tuh siapa? Telinga kita sendiri. Telinga kita akan mendengar gerutuan kita dan itu akan mempengaruhi diri kita.
Kalau telinga kita ini juga mendengar hal yang menyenangkan, itu juga akan mempengaruhi diri kita menjadi lebih senang. Misalnya, oh ini Pak ada persoalan ini. Gampanglah itu nanti kita pikirkan. Kan telinga kita dengar. Oh, ini persoalan gampang, nanti kita pikirkan jalan keluarnya.
Tapi kalau, wah gimana ya caranya? Aduh pusing nih, aduh bisa tutup nih perusahaan. Telinga kita juga dengar kan? Dan itu akan mempengaruhi cara berpikir kita. Jadi saya selalu mencoba untuk tidak overreacted atas segala.
Oke, ada persoalan. Oke, persoalannya apa? Tolong ceritakan. Oke, mari kita carikan jalan keluarnya. Ya nanti mulai dia merenungkan dengan berpikir, gimana ya ini? Tapi kan dengan suasana hati yang yang positif.
Saya suka bilang kalau kamu setiap kali masuk ke dalam ruangan, lihat ruangan oh kok ruangannya gelap ya. Masuk lagi ke ruangan sebelah, kok ruangan ini gelap juga? Oh ternyata kita pakai kacamata hitam. Kita buka kacamatanya kita, oh iya terang.
Jadi kalau kita melihatnya dengan kacamata hitam, ya jadinya gelap semuanya. Jadi bukan ruangannya yang gelap, tapi kita yang melihatnya secara gelap.
Bapak kan musisi, jadi vokalis dan main kibor, apakah jiwa seni itu juga ikut mempengaruhi gaya leadership Bapak?
Yang pasti ya mempengaruhi. Pasti ada pengaruhnya. Jiwa seni itu pasti ada pengaruhnya. Dan juga kan saya sudah melewati banyak hal ya, tadi yang saya katakan fokus, jujur, disiplin, tulus.
Dulunya saya nggak begitu. Ya kan dulunya nggak begitu. Masih mudanya ya nggak begitu, nggak disiplin juga lah kita. Tapi kan saya belajar dari situ. Oh ternyata kalau nggak disiplin ya kamu akan kalah sama yang lain-lainnya.
Bagaimana proses transformasinya?
Jadi saya sudah melewati masa-masa itu, sudah melewati sehingga itu kemudian membentuk pola pikir saya, membentuk cara berpikir saya, dan membentuk what I trust in gitu loh. Saya come up dengan 4 tadi, disiplin, fokus, jujur, tulus.
Dan tadi saya berusaha melihat sesuatu dengan lebih positif. Kalau orang bilang lu nggak stres lu kerja? Mungkin saya juga stres, tapi apakah saya harus mengatakan, oh gua stres nih. Setiap kali saya bilang gua stres nih, diri saya bilang, oh ya lu lagi stres.
Jadi kalau kita, saya yakin kalau ini saya yakin sekali, kalau kita melihat sesuatu itu lebih positif, from the positive sight, the bright sight, karena lebih mudah mencarikan jalan keluarnya atas suatu permasalahan dan jangan pernah menghitung masalahmu, hitunglah berkatmu.
Terakhir, apa pesan Bapak buat Gen Z?
Saya yakin sekali bahwa Gen Z ini jauh lebih bagus dari kami-kami ini yang sudah uzur ya istilahnya, sudah senja. Dan begitu banyak tools yang bisa digunakan. Kalau saya dulu bikin masterpiece atau bikin skripsi gitu harus cari bukunya, harus ngumpulin duit untuk pergi ke luar negeri. Belinya di Singapura.
Saya ingat tuh saya mau bikin skripsi, saya harus beli buku di Singapura karena bukunya nggak ada di Indonesia. Sekarang apa pun juga ada di online, semuanya ada. Jadi berbahagialah kalian yang punya luxury seperti itu.
Pesan saya cuma satu, jangan pernah mau berhenti untuk belajar. Saya sampai dengan hari ini setiap hari masih berusaha untuk mencari sesuatu yang baru. Suatu pengetahuan yang baru, satu hal yang baru. Apa pun itu, soal makanan kah, soal ada tempat di ujung mana, atau apa pun juga itu. Selalu cari sesuatu yang baru. Kenapa? Karena kita nggak boleh berhenti belajar.
Saya juga belajar untuk menjadi seperti Gen Z, yaitu gimana caranya supaya kita bisa nggak terlu gaptek-gaptek amatlah gitu. Tapi menandingi Gen Z nggak mungkin juga karena itu sudah ibaratnya in your DNA sudah digital gitu kan? Kalau saya kan DNA-nya bukan digital, DNA-nya analog. Cuma kita pakai analog to digital converter.
Jadi kalau dalam dunia audio itu adalah untuk mengkonversi pemikiran analog menjadi digital, sehingga output-nya menjadi digital. Nah itu kami masih harus pakai namanya ADC, Analog to Digital Converter. Tapi kalau Gen Z sudah runs in the DNA, seperti itu. Jadi manfaatkanlah your luxury about that dan keep on learning new things.***