Liputan6.com, Jakarta – China, negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia yang dihuni lebih dari 1,4 miliar orang, menghadapi sejumlah masalah ekonomi yang berat. masalah tersebut antara lain pertumbuhan ekonomi yang lambat, pengangguran kaum muda yang tinggi, dan pasar properti yang berantakan.
Kini, pimpinan pengembang real estate China yang terlilit utang, Evergrande, telah ditempatkan di bawah pengawasan polisi dan saham perusahaan ini telah dibekukan oleh otoritas.
Meskipun isu-isu ini menambah masalah besar bagi Beijing, seberapa besar pengaruhnya bagi seluruh dunia?
Para analis percaya bahwa kekhawatiran akan terjadinya bencana global yang akan datang terlalu dibesar-besarkan. Namun, perusahaan multinasional, para pekerjanya, dan bahkan orang-orang yang tidak memiliki hubungan langsung dengan Tiongkok kemungkinan besar akan merasakan dampaknya.
Pada akhirnya, ini tergantung pada diri Anda.
Pemenang dan Pecundang
“Jika masyarakat China mulai mengurangi makan siang di luar, misalnya, apakah hal tersebut akan memengaruhi perekonomian global?” tanya Deborah Elms, direktur eksekutif Asian Trade Centre di Singapura.
“Jawabannya tidak sebesar yang Anda bayangkan, tetapi tentu saja hal ini akan berdampak pada perusahaan-perusahaan yang secara langsung bergantung pada konsumsi domestik China.”
Apakah ekonomi (Republik Rakyat Tiongkok) RRT adalah ‘bom waktu’?
Ratusan perusahaan global besar seperti Apple, Volkswagen, dan Burberry mendapatkan banyak pendapatan mereka dari pasar konsumen China yang sangat besar dan akan terpukul karena rumah tangga-rumah tangga di negara ini mengurangi belanja mereka.
Dampaknya akan dirasakan oleh ribuan pemasok dan pekerja di seluruh dunia yang bergantung pada perusahaan-perusahaan ini.
Ketika Anda mempertimbangkan bahwa RRT bertanggung jawab atas lebih dari sepertiga pertumbuhan yang terjadi di dunia, segala bentuk perlambatan akan dirasakan di luar perbatasannya.
China Bayangi Global
Lembaga pemeringkat kredit AS, Fitch, mengatakan bulan lalu bahwa perlambatan RRT “membayangi prospek pertumbuhan global” dan menurunkan proyeksi pertumbuhan global pada tahun 2024.
Namun, menurut beberapa ekonom, gagasan bahwa RRT adalah mesin penggerak kemakmuran global telah dibesar-besarkan.
“Secara matematis, ya, Tiongkok menyumbang sekitar 40% dari pertumbuhan global,” kata George Magnus, seorang ekonom di China Centre Universitas Oxford.
“Namun, siapa yang diuntungkan oleh pertumbuhan tersebut? Tiongkok memiliki surplus perdagangan yang sangat besar. Tiongkok mengekspor jauh lebih banyak daripada mengimpor, jadi seberapa banyak Tiongkok tumbuh atau tidak tumbuh sebenarnya lebih banyak tentang Tiongkok daripada tentang seluruh dunia.”