Penguasa Arab Saudi dilaporkan tidak menyukai Hamas. Demikian pula dengan banyak pemerintah di kawasan.
Para penguasa Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain melihat Hamas dan gerakan revolusionernya yang disebut “politik Islam” sebagai ancaman terhadap pemerintahan sekuler mereka.
Otoritas Palestina, yang berbasis pada partai Fatah pimpinan Yasser Arafat, secara efektif diusir dari Gaza oleh Hamas pada tahun 2007.
Meskipun Hamas mempunyai kantor politik di Qatar, pendukung utamanya adalah Iran, yang telah lama menjadi saingan bersejarah Arab Saudi.
Walaupun Arab Saudi dan Iran secara resmi sepakat mengakhiri perselisihan mereka pada Maret tahun ini, dinilai masih ada rasa saling tidak percaya di antara mereka. Kedua negara sendiri bersama-sama mengutuk pengeboman Israel di Gaza dan menegaskan kembali dukungan mereka terhadap Negara Palestina.
Dua pekan lalu, sebelum serangan Hamas, Arab Saudi sudah berada dalam jalur untuk menormalisasi hubungan dengan Israel, seperti yang telah dilakukan UEA, Bahrain, dan Maroko. Namun, upaya itu saat ini dilaporkan ditunda.
Beberapa analis percaya bahwa serangan mematikan Hamas ke Israel sebagian dipicu oleh keinginan untuk menggagalkan normalisasi hubungan dengan Israel yang akan membuat Hamas dan Iran tersingkir di Timur Tengah yang baru.
Akankah keadaan di kawasan ini kembali ke status quo?
Saat ini, disebut sulit melihat hal itu terjadi karena Israel yang sedang terluka tidak berminat berkompromi dan pemerintah Arab menyaksikan meningkatnya protes anti-Israel di jalanan.
Yang jelas, pidato Pangeran Turki kelak akan bermanfaat untuk mengetahui pandangan Arab Saudi mengenai apa yang akan terjadi selanjutnya.